Kata Mereka Itu 'Ngawur'

10:54 PM

Dulu aku ingin jadi penulis. 

Aku pernah mantap berkata pada ibuku. Mah, aku mau jadi penulis. Kemudian, itu hanya menjadi omong kosong bocah remaja berusia belasan yang histeris bila melihat personil Westlife di televisi. Bertumbuh dewasa, bukan hanya fisik yang semakin gempal, namun angan-anganku pun mengempis. Jika aku ingat kembali alasanku untuk menjadi penulis, rasa-rasanya itu adalah alasan paling tidak rasional. Aku menyadarinya setelah sekian lama aku tidak membuka kembali folder berisi cerpen-cerpenku yang tidak pernah selesai, membaca ulang tulisan lama di blogku, aku semakin paham. Ironis, tulisan-tulisanku hanya bualan semata. Tidak bernyawa, tidak bermakna, hanya sederet kalimat-kalimat fiktif yang kadang kubuat berlebihan. Dibaca tiga kalipun, aku sendiri tidak menemukan inti tulisanku. Aku berterima kasih kepada orang-orang yang kadang menghiburku dengan memberikan pujian tulus bahwa tulisanku bagus. Namun, sanjungan itu menguap setiap aku melihat tulisanku lagi. 

Pada tahun pertamaku di sekolah menengah atas, remaja sepertiku belum menemukan potensi diri. Ketika teman-temanku dengan yakin mengikuti ekstrakurikuler yang mereka tahu mereka mampu dan dapat menjadi masa depan, aku hanya ikut-ikutan. Ikut unit bulutangkis, softball, modern dance, itu semua bukan keahlianku. Aku merasa itu semua hanya kegiatan pengisi waktu yang tidak akan dapat aku tekuni hingga selesai. Iya, seluruh dunia tahu aku adalah orang yang mudah bosan. Kemudian tahun pertamaku kedatangan seorang murid baru. Dari Bandung, dengan rambut ikal diikat, mata membuka lebar, senyum manis, rok sepan dibawah lutut. Semenjak itu, aku diperkenalkan dengan profesi penulis oleh Ruri. Sebenarnya aku adalah orang yang mudah mengadaptasi. Kalau tidak salah ingat, dalam pelajaran Sosiologi dulu, adaptasi sudah dilakukan manusia sedari bayi. Penentuan sifat dan reaksi kita dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Ketika kita masih kecil, tidak tahu apa-apa, kita seringkali memperhatikan gerak-gerik orang lain. Itu adalah proses meneliti, kemudian kita olah dan pelajari, hingga akhirnya kita tiru. Proses itu masih terjadi hingga sekarang dalam diriku. Kesukaanku melihat pribadi dan karakter orang-orang, menelaah, kemudian aku tanamkan dalam diriku. Itu terjadi padaku ketika aku berteman dengan Ruri. Beberapa karakternya seolah pas dengan keinginanku, kebiasaanku. Menulis adalah salah satu kebiasaannya yang akhirnya tertular padaku. Kami sama-sama menulis cerpen. 

Perjalanan cerpen-cerpenku selalu berakhir tragis. Tidak terselesaikan. Ruri lebih baik, cerpen-cerpennya lebih bernuansa, memiliki ritma yang halus dan ringan, membacanya tidak akan seperti membaca karya Stephen King, tetapi tidak juga cheesy seperti membaca teenlit. Aku berusaha mati-matian menulis ritma yang senada dengannya, namun spesialisasiku bukan di cerita romansa renyah khas Dewi Lestari, melainkan cerita fiksi dengan latar belakang suram dan jahat. Itu terungkap ketika akhirnya kami sama-sama memiliki cerpen yang selesai di tahun ketiga sekolah kami. Kemudian dengan iseng mengirimkannya ke sebuah majalah. Cerpen yang kami selesaikan memiliki alur cerita yang sungguh berbeda. Cerpen Ruri selalu menarik di awal hingga akhir, memiliki akhir cerita diluar ekspektasi, dan stabil. Sedikit demi sedikit memberi petunjuk. Sedangkan cerpenku, diawal sudah dimulai dengan emosi, depresi, dan lebih banyak mengungkap penjelasan berlebihan akan suatu perasaan. Lagi-lagi tidak bermakna. Suram. Namun, satu cerpen itu yang membawaku pada keyakinan bahwa aku bisa menjadi penulis. Menyelesaikan satu cerpen membuatku puas, hingga membawa perasaanku melambung tinggi. Akhirnya kalimat aku ingin menjadi penulis terpatri dalam pikiranku. 

Kenyataan bahwa kemudian cerpenku tidak diterima melainkan cerpen Ruri yang berada di halaman majalah tersebut, di edisi spesial ulang tahun majalah itu pula, setahun setelah kami mengirimkan cerpen tersebut, aku tidak putus asa. Iya, aku tidak marah, mengamuk, atau bahkan sedih. Aku hanya merenung. Secepat itu kemudian aku memutuskan, menulis bukanlah masa depanku. Cukup menjadi hal yang kadang akan aku lakukan ketika mood. Menulis tidak lagi aku tekuni, berimbas pada kebiasaanku yang semakin malas menyusun kalimat, terutama kalimat ilmiah. Tulisanku kebanyakan adalah tulisan sarat makna, tidak dipahami orang lain. Bahkan tidak untuk penulisnya sendiri. Tapi banyak yang mengira semakin absurd tulisanmu, semakin dianggap bagus tulisanmu. Aku menyadari menulis tidak akan menjadi suatu kewajiban, tapi hak. Kebebasan orang untuk dapat menulis apa saja. Angan-angan, imajinasi, realita, perasaan, hingga doa. Pastinya, segala sesuatu akan lebih baik ketika kita mengenal teorinya, namun kadang menulis itu ngasal. Tidak teoritis, kecuali ketika kamu mengerjakan tesis. Kata mereka itu ngawur. Tapi tulisanku tetap saja tulisan ngawur yang, sudahlah, hanya untuk kepuasan pribadi. 

Mungkin Tuhan tahu kita lelah berbicara, maka diberikan-Nya kita kemampuan untuk menulis saja. Kadang ucapan tidak diberi kesempatan, tulisan selalu memiliki spasi untuk digunakan. 




P.S
Aku sedang sering-seringnya membaca tulisan tiga orang yang aku anggap memiliki keunikan masing-masing. 

1. Warung Mas Jaki ( http://warungmasjaki.wordpress.com/ ) 
2. Storyteller by Mas Awe (http://www.ardiwilda.com/ )
3. Life & etc. by Ruriana ( http://rurianaaria.blogspot.com/ )

Coba baca dan simak. Kamu akan tahu kenapa aku selalu menyukai menulis, walau bukan keahlianku. 

:) 

You Might Also Like

4 komentar

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Aw! That was very sweet of you. But, truth be told, I always admired your story. It was so dark and genuine which is rarely done by any teenagers your age back then. And by saying this, I truly meant it--because, as you know, I don't cheap any compliment for writing.

    I actually don't really like my writing. I am not the biggest fan of mine. I surely is the worst critics for myself. And if you pay attention, I edited them from time to time. Two pages writing could be edited from five to ten times, and sometimes more. So you see, I am still learning. I think that's how we strive to our own standard. So don't worry about being perfect in writing--or whatever you do anyway.

    We all have different way to write, as we all have different way to see how the world works. And your stories is always be yours. So, well, go ahead and tell your own stories in your own words.

    Wish you could write more.

    ReplyDelete
  3. sekali-kali coba tuangkan dalam visual

    ReplyDelete

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe