Perpindahan seperti ini, selalu memakan waktu. Bahkan tenaga.
Kardus demi kardus terhampar memenuhi ruangan yang tak seberapa besarnya, dan semakin menyulitkan orang untuk melangkah. Aku berdiri diantaranya, termenung memandangi kotak-kotak besar yang berisikan hal terpenting maupun rongsokan yang dengan keras kepala tetap aku simpan. Beberapa kardus telah tertutup rapi, namun ada pula kardus yang enggan menutup rapat karena terlalu sesak.
Aku duduk di sebuah kardus yang berisi buku-buku semasa kuliah. Mengusap wajah yang tidak berkeringat, menggaruk hidung yang digelitik debu, melepas ikatan rambut kemudian mengikatnya kembali. Perasaan sedih menggantikan lelah. Mataku menelanjangi setiap sudut ruangan, memastikan semua telah dikemas, sekaligus mengenang kembali tragedi apa saja yang pernah terjadi dirumah ini.
Rasanya konyol. Di akhir masa penghabisanku di kota ini, aku seharusnya sudah kuat. Tapi tetap saja, perpindahan selalu menjadi fase tidak mengenakkan.
Melekat untuk menjadi kekal
Tertanam untuk menjadi bakal
Tidak akan ada selamat tinggal
Yang terasa begitu brutal
Aku menghela nafas pendek.
Selalu begitu. Telah aku kemas semua memori dengan serapi mungkin, di satu sudut ruang pikiranku. Tapi, akan selalu ada alasan untuk mereka, menghambur keluar begitu saja, seperti segerombolan anak kecil yang berlarian dari ruang kelas pada jam istirahat. Memenuhi segala ruang yang ada, bermain berkelompok, ataupun sendiri,
- Teruntukmu, kota paruh baya -